PEMBAHASAN
1.1 Biografi Frederick S.Perls
Frederick Perls (1893-1970) adalah pendiri pendekatan konseling Gestalt.
Frederick dilahirkan di Berlin dan berasal dari keluarga Yahudi. Masa mudanya
adalah masa masa-masa yang penuh dengan masalah. Dia mengganggap dirinya
sebagai sumber masalah dalam keluarganya dan dia bermasalah dengan
pendidikannya. Bahkan di kelas tujuh, Frederick sempat tinggal kelas sebanyak
dua kali dan bahkan keluar dari sekolah karena dia memiliki masalah dengan
gurunya. Walaupun di masa mudanya Frederick memiliki masalah dengan pendidikan,
tetapi dia dapat menyelesaikan sarjananya, dan pada tahun 1916 dia bergabung
dengan angkatan darat Jerman.
Proses perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura
(Lore) Posner (1905-1990). Dia adalah isteri Frederick perls yang secara
signifikan turut mengembangkan teori Gestalt. Laura dilahirkan di Pforzheim
Jerman. Awal mulanya dia adalah seorang pianis sampai dengan umur 18 tahun.
Pada awalnya, Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian
pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls
secara aktif melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt, hingga
pada tahun 1930 akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New
York Institute for Gestalt Therapy.
Di Berlin, Konseling
Gestalt memiliki banyak penyokong antara lain adalah Max Wertheimer, Kurt
Koffka, dan Wolfgang Kohler, mereka memandang manusia memiliki suatu
kecenderungan dasar untuk mencapai keseimbangan, dan kecenderungan
ini mengarahkan manusia untuk berfikir dalam arti
keseluruhan. Konseling Gestalt dikembangkan oleh banyak ahli, tetapi yang
paling banyak dikenal sebagai pendiri (founder) adalah Fritz Perls dan
isterinya, Laura Perls.[1]
1.2 Sejarah Teori
Gestalt
Pendekatan gestalt
adalah terapi yang termasuk dalam terapi Phenomenologica-existential
yang diprakarsai oleh Frederick (Fritz) and Laura Perls pada tahun 1940-an.
Pendekatan ini mengajarkan konselor dan konseli metode kesadaran fenomenologi,
yaitu bagaimana individu memahami, merasakan, dan bertindak serta membedakannya
dengan interprestasi terhadap suati kehadian dan pengalaman masa lalu.
Pendekatan gestalt berfokus pada proses (what
is happening) daripada isi (what is
being discussed). Penekanannya pada apa yang dilakukan, difikirkandam di
rasakan pada saat ini dari pada yang sudah, yang mungkin, dan yang harus
dilakukan, difikirkan dan dirasakan.
Sejarah pendekatan
gestalt di awali sejak tahun 1926 ketika Perls mendapatkan gelar Medical Doctor (M.D.) pergi ke Frankfurt-am-main dan menjadi asisten
Kurt Goldstein di The institute for brain damaged soldiers.
Di sinilah perls bekerja sama dengan prof goldstein dan Adhemar Gelb serta ia bertemu dengan calon istrinya, Laura.
Terdapat tiga tokoh yang mempengaruhi perkembangan intelektual perls hingga
menghasilkan pendekatan gestalt. Pertama, filsuf sigmund friedlander, dari
dialah perls mendapatkan konsep tentang differential
thinking dan creative indiffrence, yang di sebut dalam buku pertamanya, ego, hunger and aggression (1947).
Kedua, perls di pengaruhi oleh jan smuts, perdana menteri afrika utara di mana
perls pindah bersama keluarganya ketika melarikan diri dari Nazi german ketika
nagi menguaai belanda. Sebelum menjadi perdana menteri smuts telah menulis buku
utama tentang hilsm and evolution
yang menjadi acuan persfektif gestalt. Ketiga, alfred korzybski, seoang ahli
semantik yang berpengaruh pada perkembangan pemikiran intelektual perls.[2]
Pendekatan gestalt
dimulai ketika perls menulis ego, hunger
and aggretion pada tahun 1941-1942. Terbitan pertama buku ini pada tahun
1946 di afrika utara yang berjudul a
revision of freud’s theory and method. Kemudian buku ini di terbutkan
dengan judul the beginning of gestalt therapy pada
tahun 1966. Kata “gestalt therapy”pertama
kali digunakan sebagai judul buku yang di tulis oleh frederick perls, ralph
hefferline ang paul goodman pada tahun 1951.
Walaupun
pada awalnya perls adalah seorang psikoanalisis, ia mengkritik pendekatan
psikoanalisis freud. Pertama, pendekatan psikoanalisis bersifat mekanistik
sedangkan gestalt melihat manusia secara holistik. Gestalt melihat setiap
elemen kepribadian berubungan dengan keseluruhan kepribadian. Kedua, gestalt
menekannkan pada kesadaran disini dan sekarang (here and now) dan menekannkan
pentingkanya mengevaluasi kondisi dan situasi konseli sekarang. Ketiga, gestlat
thrapy berfokus pada proses sementara psikoanalisis berfokus pada isi
kepribadian. Keempat, proses konseling bertujuan mencapai pemahaman diri
tentang apa yang mereka lakukan pada saat ini, sementara psikoanalisis berfokus
pada mengapa individu bertingkah laku[3].
1.3 Konsep Dasar Teori Gestalt
1.3.1
Disini
Da Sekarang (Here And Now)
Pendekatan ini
mengutamakan masa sekarang, segala sesuatu tidak ada kecuali yang ada pada masa
sekarang (the now), karena masa lalu telah berlalu dan masa depan belum sampai,
hanya masa sekarang yang penting. Ini karena dalam pendekatan gestalt
mengekspresikan pengalaman pada masa kini.
Menurut perls kecemasan yang dia alami individu karena ada jarak antara
kenyataan masa sekarang dan harapan masa yang akan datang. Menurutnya ketika
individu mulai berfikir, merasa, dan bertindak dari masa kini namun dikuasai
oleh harapan-harapan masa depan. Kecemasan yang di alami individu disebabkan
oleh harapan katastropik (catastrophic expectation), yaitu kecemasan akan
kejadian-kejadian buruk dan tidak menyenangkan yang akan terjadi di masa yang
akan datang dan harapan anstropik (anstrophic expectation) yaitu,
harapn-harapan yang berlebihan bahwa hal-hal yang baik dan menyenangkan yang
akan terjadi di masa depan.[4]
Dalam
konseling gestalt untuk membantu konseli melakukan kontak dengan masa sekarang,
konselor menggunakan kata kata tanya “apa” (what) dan “bagaimana”
(how)danjarang sekali menggunakan kata “mengapa” (why). Kata tanya “mengapa”
(why) dikategorikan sebagai “kata kotor” (dirty word) karena mengiring konseli
untuk melakukan rasionalisasi dan khayalan diri (self deception). Ketika
konselor membahas masa lalu yang signkifikan maka konselor membawanya ke masa
sekarang.[5]
1.3.2
Lapisan
Neurosis (Layer Of Neurosis)
Individu memiliki 5
lapisan neurosisi dalam dirinya yang di umpamakan seperti kulit bawang yang
berlapis-lapis. Bila individu ingin mencapai kematangan psikologis, merteka
harus mengelupas lima lapisan neurosis ini diantaranya ialah:[6]
1. Lapisan
phony (the phony layer), terdiri dari
reaksi orang lain dengan cara streotip dan tidak autentik. Pada lever ini
individu bermain dengan kehilangnan perannya. Dengan bertingah laku sebagai
pribadi yang bukan dirinya, individu hidup dalam fantasi yang diciptakan oleh
diri sendiri dan orang lain.
2. Lapisan
phobic (thebphobic layer), individu
berusaha menghindari kesakitan emosional yang berhubungan dengan melihat
hal-hal dalam diri yang sebenarnya di pulih untuk dihindari. Pada poin ini
individu cenderung untuk resisten menerima diri sendiri.
3. Lapisan
impasse (the impasse layer), ditaha
ini individu mengalami kemacetan dalam perkembangan. Individu menganggap bahwa
ia tidak bisa bertahan hidup (survive), karena ia merasa ia tidak memiliki
sumber dan potensi utuk perkembangan tanpa dukungan lingkungan. Ia cenderung
berusaha memanipulasi li ngkungan untuk melihat, mendengar, merasa, berfikir
dan mengambil keputusan untuk dirinya.
4. Lapisan
implosif (the implosive layer),
disini individu dapat menerima bahwa ia mengalami perasaan kematian dan
kehampaan, kemudia ia menghadapinya dan tidak menghindarinya, maka lapisan
implosifnya mulai terbuka.
5. Lapisan
eksplosif (the eksplosif layer),
lapisan di mana individu melakukan kontak dengan kematian dan kehampaan
kemudian melepaskan phony roles dan kepura-puraan, maka individu melepaskan
energi yang besar yang selami ini dipertahankan dengan berpura-pura menjadi
orang yang bukan dirinya sbenarnya. Ketika eksposive layer terbuka, maka
individu dapat melakukan kontak dengan orang lain, dengan dirinya, yang asli
dan autentik. Individu dapat memperlihatkan dirinya yang asli dan
mengekspresikan kepedihan, kesenangan dan kemarahannya tanpa harus menutup-nutupinya.
1.3.3
Bentuk-Bentuk
Pertahanan Diri (Modes Of Defense)
1. Introyeksi
(intrijection), merupakan masukkan
ide-ide, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi tentang diri individu, seperti
apa individu seharusnya dan bagaimana individu harus bertingkah laku.
Proses
introyeksi memiliki beberapa efek, diantaranya yaitu: rasa bersalah (guilt), perfeksionis
(perfectionism), rendah diri (low self-esteem), ketidak mampuan menerima pyjian
(inability to accept compliment), hanya ke anglesey 9only to anglesey) yaitu
ekspresi yang menjelaskan bahwa individu tidak pernah melihat dirinya dan apa
yang dilakukannya tidak pernah memuaskan dirinya.[7]
2. Proyeksi
(projection), merupakan proses dimana
individu melakukan atribusi kepada pemikiran, perasaan, keyakinan dan sikap
orang lain yang seberanya adalah bukan milik individu. Dampak efek negatif dari
proyeksi diantarnya yaitu:[8]
a. Individu
membangun batas-batas untuk melakukan kontak dengan individu lain.
b. Individu
membangunkan kembali proses introyeksi yang telah terjadi di masa lalu, dan
menghadirkannya pada masa sekarang sebagai proyeksi.
c. Invidu
merasa terkucil dari kelompoknya dan ia merasa menjadi outsider.
d. Individu
tidak dapat merasa orang lain lebih baik dari dirinya.
e. Individu
menyalahkan orang lain karna ia tidak dapat mencapai sesuatu yang di inginkan.
f. Individu
menyalahkan benda-benda disekitarnya atau cuaca seperti hujan dan panas sebagai
rekasi dari ketidak nyamanan psikologisnya.
g. Individu
selalu mencari kambing higam untuk segala sesuatu yang tidak sesuai dengan
standar dan keinginan dirinya.
h. Individu
mefrasakan kehampaan
3. Retrofleksi,
merupakan proses dimana ndividu mengembalikan implus-implus dan respons-respons
kepada dirinya karena ia tidak dapat mengekspresikannya kepada orang lain dan
lingkungan. Dalam hal ini ia menekan perasaannya kartena ia tidak dapat
menerima kehadiran perasaan tersebut, atau individu mengetahui dan mempercayai
bahwa perasaan itu tidak dapat diterima oleh orang lain di sekitarnya.
Retrofleksi memiliki efek psikomatis diantaranya: bahu yang kaku (the frozen
shouder), dan cacat karena ketakutan (paralyzed with fear).
4. Defleksi
(deflection), merupakan metode
penghindaran (avoidance0, adalah cara mengubah pertanyaan atau pernyataan
menjadi memiliki makna lain sehingga individu dapat menghindari dari merespon
pertanyaan atau pernyataan tersebut. Defleksi dapat terlihat dari penggunaan
humor yang berlebihan, menjawab pertanyaan dengan tersenyum atau tertawa,
melakukan generalisasi abstrak dan menghindari kontak mata.
5. Confluence
damn isolasi (isolation), secara
harfiah artinya adalah menyatu, maknanya adalah bahwa individu (saya) berada
dalam hubungan dengan lingkungan, menjadi orang lain, tempat, objek, atau
ideal-ideal.ia tidak dapat membedakan antara dirinya dan lingkungannya, selalu
sesuai dan tidak ada konflik antara keyakinan dan pikiran oarang lain dengan
dirinya.[9]
6. Urusan
yang tak usai.
Dalam pendekatan
gestalt terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai, yakni
mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan,
kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa diabaikan dsb.[10]
1.4 Pandangan Teori Gestalt Tentang
Hakikat Manusia
Pandangan pendekatan
gestalt terhadap manusia dipengaruhi oleh filsafat ekstensial dan fenomenologi.
Asumsi dasar pendekatan gestalt tentang manusia adalah bahwa individu dapat
mengatasi sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama bila mereka menggunakan
kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia sekitarnya. Gestalt
berpendapat bahwa individu memiliki masalah karena menghindari masalah oleh
karena itu pendekatan gestalt mempersiapkan individsu dengan interveesi dan
tantangan untuk membeantu konseli mencapai integrasi diri dan menjadi lebih
autentik.
Perls melihat manusia
sebagai organisme yang total bukan hanya memiliki potensi otak. Menurutnya
individu akan lebih baik bila mereka
kehilangan pikiran mereka dan beralih ke sensasi, artinya bahwa badan dan
perasaan adalah indikator yang lebih baik dan bisa dipercaya untuk melihat
kondisi psikologis individu. Dengan kata lain perbalisasi melalui kata-kata
sering kali menutupi kondisi diri individu yang sebenarnya. Tanda-tanda yang
diperlihatkan oleh tubuh manusia seperti sakit kepala, tegang pada leher, sakit
perut mungkin lebih dapat dipercaya dalam mengindikasikan bahwa bahwa individu
perlu mengubah tingkah lakunya. Perls percaya bahwa kesadaran (aweareness) saja
bisa menjadi obat bagi permasalahan individu. Dengan kesadaran penuh, individu
dapat mengembangkan pengaturan diri (self
regulation) dan dapat mengontrol dirinya.[11]
Menurut pendekatan
gestalt, area yang paling penting yang harus diperhatikan dalam konseling adalah
pemikiran dan perasaan yang individu alami pada saat sekarang. Perilaku yang
normal dan sehat terjadi bila individu bertindak dan bereaksi sebagai organisme
yang total, yaitu memiliki kesadaran pada pemikiran, perasaan dan tindakan pada
masa sekarang. Banyak orang yang memisahkan kehidupannya dan lebih
berkonsentrasi serta memfokuskan perhatiannya pada poin-poin dan
kejadian-kejadian tertentu dalam kehidupannya. Hal ini menyebabkan fragmentasi
dalam diri yang dapat terlihat dari gaya hidup yang tidak efektif yang
berakibat pada produktivitas yang rendah bahkan membuat masalh kehidupan yang
lebih serius.[12]
Individu yang sehat
secara mental menurut pendekatan gestalt adalah:
a. Individu
yang dapat mempertahankan kesadaran tanpa dipecah oleh berbagai stimulasi dari
lingkungan yang dapat menganggu perhatian individu. Orang tersebut dapat secara
penuh dan jelas mengalami dan mengenali kebutuhannya dan alternatife potensi
lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.
b. Individu
yang dapat merasakan dan berbagi konflik pribadi dan frustasi tapi dengan
kesadaran dan konsentrasi yang tinggi tanpa ada campuran dengan fantasi-fantasi.
c. Individu
yang dapat membedakan konflik dan masalah yang dapat diselesaikan dan tidak
dapat diselesaikan.
d. Individu
yang dapat mengambil tanggung jawab atas hidupnya.
e. Individu
yang dapat berfokus pada satu kebutuhan (the figure) pada satu waktu sambil
menghubungkannys dengan kebutuhan yang lain (the ground), sehingga ketika kebutuhan itu
terpenuhi disebut juga gestalt yang sudah lengkap
Selain itu, gestalt
menjelaskan orang yang neurotik sebagai individu yang ingin mencapai terlalu
banyak kebutuhan pada saat yang bersamaan, sehingga ia gagal untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Orang yang neurotik juga merupakan orang yang menggunakan
potensinya untuk memanipulasi orang lain untuk malakukan sesuatu mereka,
sehingga mereka tidak perlu malakukannya sendiri. Menurut.[13]
Menurut pendekatan
gestalt, individu yang sehat adalah individu yang dapat melengkapi siklus
gestalt. Bila individu tidak dapat menggenapi siklus tersebut, maka individu
akan memiliki beberapa masalah yang berkaiitan dengan lapisan neurosis, urusan
yang tidak selesai (Unfinished business),
dan berbagai bentuk pertahanan diri (modes
of defense).
Seperti yang dikutip
george dan Cristiani (1995, Hlm: 66), Person mendata asumsi dasar hakikat
manusia berikut ini sebagai kerangka kerja konseling Gestalt:[14]
1. Individu
tersusun sepenuhnya dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Tak satupun dari
bagian ini tubu, emosi, pikiran, sensasi dan terepsi bisa dimengerti jika
terpisah dari keseluruhan kontek pribadinya.
2. Individu-individu
juga bagian dari lingkungannya sendiri dan tidak bisa dimengerti jika terpisah
darinya.
3. Individu-individu
memilih cara mereka merespon stimuli eksternal dan internal mereka adalah aktor
bukan reaktor.
4. Individu-individu
memiliki potensi untuk menyadari sepenuhnya semua sensasi, pikiran, emosi dan
persepsi.
5. Individu-individu
sanggup melakukan pilihan tertentu karena sadar betul akan dirinya,
lingkungannya dan kebutuhannya.
6. Individu-individu
memiliki kapasitas untuk mengatur hidup mereka sendiri secara efektif.
7. Indidvidu-individu
tidak bisa mengalami masa lalu dan masa depan mereka dapat mengalami hanya diri
mereka dimasa kini (disini dan sekarang).
8. Individu
pada dasarnya bukan baik atau buruk.
Dari
asumsi-asumsi ini kita bisa menyimpulkan terapis Gestalt memiliki pandangan
positif mengenai kapasitas individu untuk mengarahkan diri. Lebih jauh lagi,
klien harus didukung untuk menggunakan kapasitas ini dan mengambil tanggung
jawab bagi hidupnya sendiri dan untuk melakukan sekarang, dimasa kini, ia haru mengalami disini dan sekarang.
Teknik-teknik konselingnya meliputi pertanyaan bagaimana dan apa,
konfrontaso-konfrontasi, pernyataan aku dan bebagi kesadaran bersama klien dengan
menitikberatkan momen ini.[15]
1.5 Perkembangan Kepribadian Manusia
Menurut Teori Gestalt
Manifestasi penting yang pertama
tentang pengaruh teori medan dalam psikologi nampak dalam aliran psikologi
Gestalt. Pokok pikiran teori Gestalt bahwa cara objek diamati (kesan yang
diperoleh oleh si pengamat) itu ditentukan oleh keseluruhan konteks dimana
objek itu ada. Jadi yang menentukan kesan pengamatan itu terutama adalah saling
hubungan antara komponen-komponen medan pengamatan.[16]
Hakikat perkembangan itu menurut
Lewin adalah perubahan-perubahan tingkah laku (behavioral changes):[17]
1.
Perkembangan berarti perubahan di dalam
variasai tingkah laku. Makin bertambah umur seseorang variasi kegiatan,
perasaan, kebutuhan, hubungan sosialnya makin bertambah.
2.
Perkembangan berarti perubahan dalam
organisasi dan struktur tingkah laku. Semakin tambah umur maka semakin banyak
relasinya, dapat mempunyai tujuan diluar perbuatan yang dilakukannya dan
sekaligus dapat mengerjakan berbagai hal.
3.
Perkembangan berarti bertambahnya luas arena
aktivitas. Makin bertambah dewasa maka anak dapat memikirkan masa lampau dan
merencanakan masa depannya.
4.
Perkembangan berarti perubahan dalam
taraf realitas. Makin bertambah usia maka makin dapat membedakan yang khayal
dan yang nyata.
5.
Perkembangan berarti makin
terdiferensiasinya tingkah laku. Makin tambah usia maka koordinasi antara
bagian menjadi lebih baik.
6.
Perkembangan berarti diferensiasi dan
stratifikasi. Makin bertambah usia maka makin bertambah daerah dalam pribadi
dan lingkungan psikologisnya.
1.6 Perilaku yang Bermasalah Menurut
Teori Gestalt
Asumsi dasar terapi gestalt adalah bahwa
individu-individu mampu menangani sendiri masalah-masalah hidupnya secara
efektif. Individu sering kali mengalami masalah dengan orang lain di masa lalu.
Menuurut Gestalt, masa lalu yang belum terselesaikan atau terpecahkan disebut
dengan Unfinished Business yang dapat dimanifestasikan dengan munculnya
kemarahan, amukan, kebencian, cemas, duka ciat, rasa bersalah dan perilaku
menunda, (Polster, dalam Corey, 2005) menyatakan bahwa beberapa bentuk perilaku
akibat Unfinished Business adalah seseorang akan asyik dengan dirinya sendiri,
memaksa orang lain untuk menuruti kehendakny, bentuk-bentuk perilaku yang
menempatkan dirinya sebagai orang kalah, bahkan sering kali muncul simptom-simptom
penyakit fisik.
Individu bermasalah karena terjadi pertentangan antara
kekuatan “top dog” dan antara keberadaan “under dog”. Top dog adalah kekutan
yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah keadaan desensif,
membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi. Individu bermasalah
karena ketidakmampuan seseorang dalam mengintegrasikan pikiran, perasaan dan
tingkah lakunya karena disebabkan mengalami kesenjangan antara masa sekarang
dan masa yang akan datang.
Perkembangan yang terganggu adalah tidak terjadi
keseimbangan antara apa-apa yang harus (self-image) dan apa-apa yang diinginkan
(self):
1.
Terjadi pertentangan antara keberadaan sosial dan
biologis.
2.
Ketidakmampuan individu mengintegrasikan pikiran,
perasaan, dan tingkah lakunya.
3.
Mengalami kesenjangan sekarang dan yang akan datang.
4.
Melarikan diri dari kenyataan yang harus dihadapi.
Menurut gestalt
individu menyebabkan dirinya terjerumus pada maslah-masalah tambahan, karena
tidak mengatasi kehidupannya dengan baik pada kategori di bawah ini:
a.
Kurang kontak dengan lingkungan, yaitu
individu menjadi kaku dan memutus hubungan antara dirinya dengan orang lain dan
lingkungan.
b.
Confluence,
yaitu individu yang tarlalu banyak memasukkan nilai-nilai dirinya kepada orang
lain atau memasukkan nilai-nilai lingkungan pada dirinya, sehingga mereka
kehilangan pijakan dirinya dan kemudian lingkungan yang mengontrol dirinya.
c.
Unfinishedbusines,yaitu
orang yang memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi, perasaan yang tidak di
ekspresikan dan situasi yang belum selesai yang menganggu perhatiannya ( yang
mungkin di manifestasikan dalam mimpi).
d.
Fragmentasi,
yaitu orang yang mencoba untuk menemukan atau menolak kebutuhannya seperti
kebutuhan agresi
e. Topdog/underdog:
orang yang mengalami perpecahan pada kepribadiannya, yaitu antara apa yang
mereka fikir “harus” dilakukan (topdog) dan apa yang mereka “inginkan”
(underdog)
f. Polaritas
atau dikotomi, yaitu orang yang cenderung untuk “bingung dan tidak dapat
berkata-kata (speecheles)” pada saat
terjadi dikotomi dalam dirinya seperti antar tubuh dan pikiran (body and mind), antar diri dan
lingkuangan (self external world), antara
emosi dan kenyataan (emotion reality) dan
sebagainya. Ada 5 tipe polaritas menurut Assagioli diantaranya yaitu:
1) Polaritas
fisik, yaitu polaritas maskulin dan feminin
2) Polaritas
emosi, yaitu polaritas antara kesenangan dan kesakitan, antara kesenangan (excitement) dan depresi, serta antara
cinta dan benci.
3) Polaritas
mental, yaitu polaritas antara ego orang tua dan ego anak, antara eros (perasaan) dan logos (akal sehat), serta antara yang harus dilakukan (topdog) dan yang di inginkan (underdog).
4) Polaritas
spiritual, yaitu polaritas antara laki-laki dan perempuan.[18]
1.7 Tujuan Konseling Gestalt
Terapi gestalt memiliki
beberapa sasaran penting yang berbeda. Sasaran dasarnya adalah menantang klien
agar berpidah dari “didukung oleh lingkungan” kepada “didukung oleh diri
sendiri”. Menurut Perls, sasaran terapi adalah menjadikan pasien menemukan sejak
awal bahwa dia bisa melakukan banyak hal, lebih banyak daripada yang dikiranya.
Sasaran utama terapi
gestalt adalah pencapaian kesadaran. Kesadaran pada dirinya sendir; dipandang
kuratuf. Tanpa kesadaran, klien tidak memiliki alat untuk mengubah kepribadiannya.
Dengan kesadaran, klien memiliki kesanggupan untuk menghadapi dan menerima
bagian-bagian keberadaan yang diingkarinya serta untuk berhubungan dengan
pengalaman-pengalaman subjektif dan dengan kenyataan. Klien bisa menjadi suatu
kesatuan dan menyeluruh. Apabila klien menjadi sadar, maka urusannya yang tidak
selesai muncul sehingga bisa ditangani dalam terapi.[19]
Tujuan dari konseling
gestalt adalah menciptakan eksperimen dengan konseli untuk membantu konseli:
1. Mencapai
kesadaran atas apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka malakukannya.
Kesadaran itu termasuk di dalamnya, insight, penerimaan diri, pengetahuan
tentang lingkungan, tanggung jawab terhadap pilihannya
2. Kemampuan
untuk melakukan kontak dengan orang lain
1.8 Peran Konselor
Prinsip penting
dalam terapi gestalt adalah di sini dan saat ini (here and now).
Konsekuensinya, konselor hendaknya lebih mengutamakan pentingnya penyadaran
klien (anak berkbutuhan khusus) terhadap situasi dan kondisi saat ini dan
disini, melalui penggunaan prinsip “now”, “what” dan “how”. Bukan melalui
prinsip “why”, karena hanya akan mengarahkan kepada masa lalu yang tidak pernah
sampai kepada jawaban yang memadai. Bagi klien, kondisi saat ini adalah
unfinished business. Karena itu, yang penting bagi konselor adalah bagaimana
klien dapat menyadari kondisi-kondisinya atau masalah-masalahnya saat ini dan
bagaimana harus berbuat untuk mengatasinya. Sedangkan masa depan (the future)
adalah sesuatu yang belum muncul, sehinga tidak perlu terlalu dirisaukan. Pandangan teori gestalt tentang nilai positif
dari frustrasi, tampaknya juga harus dimanfaatkan konselor dengan membuat klien
menjadi “kecewa”, sehingga klien dipaksa untuk dapat menemukan
potensi-potensinya dan cara-cara mengatasi masalahnya, dengan memahami dan
menemukan kembali unfinished business-nya. Dalam konteks ini pemberian motivasi
kepada klien menjadi penting.[21]
1.9 Proses dan Teknik-Teknik Konseling
Gestalt
1.9.1
Proses
Konseling Gestalt
Tahap awal yang di
lakukan konselor dalam konseling gestalt adalah mempertimbangkan kesesuaian konseling
gestalt dengan konseli. Terdapat beberapa pertanyaan yang dapat digunakan
konselor untuk melakukan refleksi, antara lain: Apakah konselor memiliki
kapasitas dan kompetensi untuk menangani masalah konseli? Apakah konselor
tertarik untuk menangani masalah konseli? Apakah konseli bersedia melakukan
konseling dengan teknik-teknik gestalt? Apakah konseli cocok untuk menggunakan
konseling dengan pendekatan gestalt?[22]
Sofyan H. Wilis (2004) menyatakan
bahwa proses konseling dalam terapi gestalt mengikuti lima hal penting, yaitu:[23]
1. Permulaan,
dilakukan setelah konselor memperoleh fakta atau penjelasan mengenai sesuatu
gejala, dengan segera memberi jawaban.
2. Pengawasan,
yaitu kemampuan konselor untuk menyakinkan atau memaksa klien mengikuti
prosedur konseling, melalui motivasi dan rapport.
3. Potensi,
yaitu usaha konselor untuk mempercepat terjadinya perubahan perilaku dan sikap
serta kepribadian klien.
4. Kemanusiaan,
meliputi pengenalan secara pribadi dan emosional, mendorong, serta bersikap
terbuka.
5. Kepercayaan,
termasuk kepercayaan diri konselor dalam membantu klien.
Joyce dan sill mengatakan bahwa proses konseling
gestalt terjadi dalam tahapan tertentu yang fleksibel. Tiap-tiap tahap memiliki
prioritis dan tujuan tertentu ysng membantu konselor dalam mengorganisasikan
proses konseling. Tahap-tahap tersebut yaitu:[24]
1. Tahap
pertama (the beginning phase).
Disini konselor
menggunakan metode fenomenologi untuk meningkatkan kesadaran konseli,
menciptakan hubungan dialogis mendorong keberfungsian konseli secara sehat dan
menstimulasi konseli untuk mengembangkan dukungan pribadi (personal support) dan lingkungannya. Proses yang dilalui dalam
tahap pertama ini ialah:
a. Menciptakan
tempat yang aman dan nyaman (safe container) untuk proses konseling.
b. Mengembangkan
hubungan kolaboratif.
c. Mengumpulkan
data, pengalaman konseli, dan keseluruhan gambaran kepribadiannya dengan
pendekatan fenomenologis.
d. Meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab pribadi konseli.
e. Membangun
sebuah hubungan yang dialogis.
f. Meningkatkan
self support, khususnya dengan konseli yang memiliki proses diri yang rentan.
g. Mengidentifikasi
dan mengklarifikasikan kebutuhan-kebutuhan konseli dan tema-tema masalah yang
muncul.
h. Membuat
prioritas dan kesimpulan diagnosis terhadap konseli.
i.
Mempertimangkan isu-isu budaya dan
isu-isu lainnya yang memiliki perbedaan potensial antara konselor dan konseli
serta mempengaruhi proses konseling.
j.
Konselor mempersiapkan rencana untuk
menghadapi kondisi-kondisi khusus dari konseli, seperti menyakiti diri sendiri,
kemarahan yng berlebihan dan sebagainya.
k. Bekerjasama
dengan konseli untuk membuat rencana konseling.
2. Tahap
kedua (clearing the ground).
Pada tahap ini
konseli mengekplorasi berbagai introyeksi, berbagai modifikasi kontrak yang
dilakukan dan unfinished business.
Peran konselor adalah secara berkelanjutan mendorong dan membangkitkan
keberanian konseli mengungkapkan ekspresi pengalaman dan emosi-emosinya dalam
rangka kataris dan menawarkan konseli iuntuk melakukan berbagai eksperimentasi
untuk menibgkatkan kesadarannya, tanggung jawab pribadi dan memahami unfinished business. Adapun pros tahap
ini meliputi:
a. Mengeksplorasi
introyeksi-introyeksi dan modifikasi kontak.
b. Mengatasi
urusan yang tidak selesai (unfinished
business).
c. Mendukung
eksprsi-ekspresi konseli atau proses kataris.
d. Melakukan
ekperimentasi perilaku baru dan memperluas pilihan-pilihan bagi konseli.
e. Terlibat
secara terus menerus dalam hubungan yang dialogis.
f. Tahap
ketiga (the existential encounter)
Pada tahap ini di
tandai dengan aktivitas yang dilakukan konseli dengan mengeksplorasi masalahnya
secara mendalam dan membuat perubahan-perubahan yang cuckup signifikan. Tahap
ini merupakan fase tersulit karena pada tahap ini konseli menghadapi
kecemasan-kecemasannya sendiri, ketidak pastian dan ketakutan-ketakutan yang
selama ini terpendam dalam diri. Tahap ini merupakan fase tersulit karena pada
tahap ini konseli menghadapi kecemasan-kecemasannya sendiri, ketidakpastian dan
ketakutan-ketakuitan yang selama ini terpendam dalam diri. Selain itu, konseli
menghadapi perasaan terancam yang kuat disertai dengan perasaan kehilangan
harapan untuk hidup yang lebih mapan. Pada fase ini konselor memberikan
dukungan dan motivasi berusaha membrikan keyakinan ketika konseli cemas dan
ragu-ragu menghadapi masalahnya. Ada beberapa langkah yang di lalui pada tahap
ini, yaitu:
a. Menghadapi
hal-hal yang tidak diketahui dan mempercayai regulasi diri organistik jklien
untuk berkembang.
b. Memiliki
kembali bagian diri konseli yang tadinya hilang atau tidak diakui.
c. Membuat
suatu keputusan eksistensial untuk hidup dan terus berjalan.
d. Bekerja
secara sistematis dan terus menerus dalam mengatasi keyakinan konseli yang
destruktif, tema-tema kehidupan klien yang negative.
e. Memilih
hidup dengan keberanian menghadapi ketidakpastian.
f. Berhubungan
dengan makna-makna spiritual.
g. Mengalami
sebuah hubungan perbaikan yang terus menerus berkembang.
3. Tahap
keempat (integration).
Pada tahap ini
konseli sudah mampu mengintegrasikan keseluruhan diri (self), pengalam dan
emosi-emosinya dalam perspektif yang baru.
a. Membentuk
kembali pola-pola hidup dalam bimbingan pemahaman baru dan insight baru.
b. Memfokuskan
pada pembuatan kontrak relasi yang memuaskan.
c. Berhubungan
dengan masyarakat dan komunitas secara luas.
d. Menerima
ketidak pastian dan kecemasan yang dapat menghasilkan makna-makna baru.
e. Menerima
tanggung jawab untuk hidup.
4. Tahap
kelima (ending).
Pada tahap ini
konseli siap untuk memulai kehidupan secara mandiri tanpa supervisi konselor.
Tahap pengakhiran ditandai dengan sebagai berikut:
a. Berusaha
untuk melakukan tindakan antisipasi akibat hubungan konseling yang telah
selesai.
b. Memberikan
proses pembahasan kembali isu-isu yang ada.
c. Merayakan
apa yang telah dicapai.
d. Menerima
apa yang belum tercapai.
e. Melakukan
antisipasi dan perncanaan terhadap krisis di masa depan.
f. Memberikan
pergi dan terus melanjutkan kehidupan.
1.9.2
Teknik-Teknik
Konseling Gestalt
Terdapat beberapa
teknik bahasa, permainan, dan fantasi yang dapat digunakan untuk mempertahankan
orientasi pada masa sekarang (present-time
orientation) dalam wawancara konseling, antara lain:[25]
1. Kursi
kosong (Empty Chair).
Teknik ini bertujuan untuk membantu mengatasi
konflik interpersonal dan intrapersonal. Teknik ini da[at membantu konseli
untuk keluar dari proses introyeksi. Pada teknik ini konselor menggunakan 2
kursi dan meminta konseli untuk duduk di satu kursi dan berperan sebagai
topdog. Kemudian berpindah ke kursi lainnya dan menjadi underdog. Dialognya
dilakukan secara berkesinambungan pada dua peran tersebut. Dengan teknik ini,
introyeksi akan terlihat dan konseli dapat merasakan konflik yang ia rasakan
secara lebih real. Konflik tersebut akan dapat diselesaikan dengan penerimaan
dam integrasi antara kedua peran tersebut. Teknik ini membantu konseli untuk
merasakan perasaannya tentang konflik perasaan dengan mengalami secara penuh.
Menurut Greenberg Ada 6 langkah dalam menggunakan
teknik kursi kosong ini di antaranya adalah:
a. Konseli
mengidentifikasi orang yang menjadi sumber unfinished
business.
b. Konseli
merespon seperti yang ia yakini orang tersebut akan merespon.
c. Konseli
melakukan dialog sampai pada poin tercapainya relusi untuk menyelesaikan unfinished business.
d. Konseli
memahami unfinished business dari figure to ground dalam kesadaran konseli.
2. Topdog
versus underdog.
Topdog
merupakan perasaan marah bila sesuatu tidak sesuai dengan nilai dan norma
moral, autoritarian, dan mengetahui yang terbaik. Topdog adalah orang yang
menggunakan kekuatannya untuk menekan dan menakuti orang lain dan bekerja
dengan kata “kamu harus” dan “kamu tidak boleh”. Sementara itu, underdog
manipulatif dengan menjadi defensif, merengek dan menangis seperti bayi.
Underdog bekerja dengan kata “saya mau” dan mencari alasan seperti “saya sudah
berusaha keras”.
Teknik ini menggunakan 2 kursi
untuk membantu mengatasi konflik antara “yang saya inginkan” dan “yang
seharusnya”. Satu kusi menjadi topdog (yang seharusnya) dan yang satu lagi
menjadi underdog (yang saya inginkan) konseli diminta untuk memeberikan argumen
terbaik dengan posisis topdog dan di pindah ke kursi underdog. Kemudian konseli
diminta berargumen sampai mencapai poin di mana konseli mencapai integrasi dari
topdog dan apa yang di inginkan (underdog).
3. Membuat
serial (making the rounds).
Merupakan
latihan gestalt yang melibatkan individu untuk berbica atau melakukan sesuatu
kepada orang lain. Tujuan untuk membuka diri, melatih tingkah laku baru, dan
untuk melakukan perubahan.
4. “saya
bertanggung jawab atas...” (“i take responsibility for...”).
Teknik ini
bertujuan untuk menyadari dan mempersonalisasikan perasaan dan tingkah lakunya.
5. Bermain
proyeksi (playing projection).
Merupak individu yang
meluihat secara jelas pada orag lain apa yang tidak ingin dilihaat dan,
menerima dirinya. Individu yersebut berusaha keras untuk menolak perasaannya
dan menyalahkan orang lain atas kejadian yang terjadi pada dirinya. Teknik ini
biasanya dilakukan dengan setting kelompok, namun bisa juga diberikan pada
setting individual.
6. Pembalikan
(reversal technique).
Asumsi teknik ini
adalah bahwa gejakla dan tingkah laku tertentu sering kali merefrentasikan
impuls-impuls yang ditekan dan laten ada dalam diri individu. Ini juga
bertujuan untuk mengajak konseli untuk mengambil resiko terhadaop ketakutan,
kecemasan dan melakukan kontak dengan bagian dirinya yang selama ini ditolak
dan ditekan. Untuk itu, konselor meminta konseli untuk melakukan tingkah laku
yang kebalikan darai apa yang ia katakan.
7. Latihan
gladiresik (the rehearsal experiment)
Individu
cenderung mengulang fantasi-fantasi yang individu rasa bahwa itu adalah
harapan-harapan dari lingkungannya. Sehingga ketika individu berada dalam
lingkungan tersebut, ia menjadi ketakutan, cemas karena ia tidak akan dapat
menampilkan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Teknik ini dapat diyterapkan
melalui permainan sharing. Individu diminta mengatakan pada orang lain tentang
fantasi-fantasi yang sering ia katakan dan ulang-ulang secara internal dalam
dirinya. Dengan mengatakan secara verbal kepada orang lain, konseli dapat membedakan
fantasi dan kenyataan serta dapat menguji coba tingkat ekspektasi orang lain.
Hal ini membuat konseli dapat mengukur seberapa besar ia ingin diterima dan
disukai orang lain, serta seberapa besar usaha yang harus dilakukan untuk
mencapainya.
8. Latihan
melebih-lebihkan (the exaggeration eksperiment)
Teknik ini membangtu
konseli untuk menjadi lebih sadar pada tanda-tanda bahasa tubuh. Gerakan,
postur tubuh, ekspresi wajah dan gerakan tubuh menjadi sarana komunikasi yang
memiliki makna yang signifikan. Pada teknik ini, konseli diminta untuk
mengulang kembali secara berlebihan gerakan dan bahasa tubuh yang biasa
dilakukan seiring dengan tingkah laku tertentu.
9. Tetap
pada perasaan (staying with the feeling)
Pada teknik ini
konselor meminta konseli untuk tetap pada perasaan ketakutan dan kesakitan dan
merasakannya pada proses konseling. Konselormendoroong mkonseli untuk merasakan
dan melakukan kegiatan yang cenderung dihindarinya. Dengan menghadapi,
mengkonfrontasi, dan mengalami perasaan tidak saja dapat membuat konseli
menjadi lebih berani, tetapi juga membangkitkan keinginan untuk mengatasi
kesakitan. Hal ini dimungkinkan karena konseli membuka diri untuk mengalami
kesakitan dan membuka jalan untuk melangkah ke arah yang lebih positif.
10. Bahasa
‘saya’ ( “I” languange)
Konselong mendorong konseli untuk
menggunakkan kata “saya” (I) ketika
konseli mengeneralisasikan kata “kamu” (you)
dalam bicara. Contohnya ketika konseli berkata: “kamu tau kan susah sekali
untuk mengerti matematika”. Konseli diminta mengganti kata kamu dengan saya,
“saya tau bahwa saya tidak mengerti matematika”. Ketika konseli berusah
mengganti dengan kata “saya” diumpamakan seperti melihat sepasang sepatu dan
bagaimana pasangan itu menjadi serasi. Teknik ini bertujuan utnuk membantu
konseli bertanggung jawab atas perasaan, pikiran dan tingkah lakunya.
1.10
Kelebihan Teori Gestalt
Kelebihan-Kelebihan
Terapi Gestalt:[26]
1. Terapi
Gestalt adalah suatu pendekatan konfrontif dan aktif.
2. Terapi
Gestalt menangani masa lampau dengan membawa aspek-aspek masa lampau yang
relevan ke saat sekarang.
3. Terapi
Gestalt menggairahkan hubungan dan pengungkapan perasaan-perasaan langsung, dan
menghindari intelektualisasi abstrak tentang masalah-masalah klien.
4. Terapi
Gestalt memberikan perhatian terhadap pesan-pesan nonverbal dan pesan-pesan
tubuh.
5. Terapi
gestalt menolak mengakui ketidkberdayaan sebagai alasan untuk tidak berubah.
6. Terapi
Gestalt meletakkan penekana pada klien untuk menemukan makna-maknanya sendiri
dan membuat penafsiran-penafsiran sendiri.
7. Dalam
waktu yang sangat singkat, para klien bisa mengalami perasaan-perasaannya
sendiri secara intens melalui sejumlah latihan Gestalt.
1.11
Kelemahan Teori Gestalt
Kekurangan-kekurangan
terapi gestalt:[27]
1. Terapi
Gestalt tidak berlandaska suatu teori
yang kukuh.
2. Terapi
Gestalt cenderung antiintelektual dalam arti kurang memperhitungkan
faktor-faktor kognitif.
3. Secara
filosofis terdapat bahaya yang nyata dalam gaya hidup “aku mengerjakan urusanku
dan kamu mengerjakan urusanmu”. Terapi Gestalt menekankan tanggung jawab atas
diri sendiri, tetapi mengabaikan tanggung jawab kita kepada orang lain.
4. Terdapat
bahaya yang nyata bahwa terapis yang menguasai teknik-teknik Gestalt akan
menggunakannya secara mekanis sehingga terapis sebagai pribadi tetap sembunyi.
5. Terapi
Gestalt bisa menjadi berbahaya karena terapis memiliki kekuatan untuk
memanipulasi klien melalui teknik-teknik yang digunakannya.
6. Para
klien sering bereaksi negatif terhadap sejumlah teknik Gestalt karena merasa
dirinya dianggap tolol.
BAB
II
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Frederick Perls (1893-1970) adalah pendiri pendekatan konseling Gestalt.
Frederick dilahirkan di Berlin dan berasal dari keluarga Yahudi. Proses
perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner
(1905-1990). Dia adalah isteri Frederick perls yang secara signifikan turut
mengembangkan teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls secara aktif
melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt, hingga pada tahun 1930
akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute
for Gestalt Therapy.
Pendekatan gestalt
adalah terapi yang termasuk dalam terapi Phenomenologica-existential
yang diprakarsai oleh Frederick (Fritz) and Laura Perls pada tahun 1940-an.
Sejarah pendekatan gestalt di awali sejak tahun 1926 ketika Perls mendapatkan
gelar Medical Doctor (M.D.) pergi ke Frankfurt-am-main dan menjadi asisten
Kurt Goldstein di The institute for brain damaged soldiers.
Pendekatan gestalt dimulai ketika perls menulis ego, hunger and aggretion pada tahun 1941-1942.
Segala sesuatu tidak
ada kecuali yang ada pada masa sekarang (the now), karena masa lalu telah
berlalu dan masa depan belum sampai, hanya masa sekarang yang penting. Ini
karena dalam pendekatan gestalt mengekspresikan pengalaman pada masa kini.
Individu memiliki 5
lapisan neurosisi dalam dirinya bila individu ingin mencapai kematangan
psikologis, mereka harus mengelupas lima lapisan neurosis ini diantaranya ialah:
Lapisan phony (the phony layer, Lapisan
phobic (thebphobic layer), Lapisan
impasse (the impasse layer), Lapisan
implosif (the implosive layer),
Lapisan eksplosif (the eksplosif layer).
Pandangan pendekatan
gestalt terhadap manusia dipengaruhi oleh filsafat ekstensial dan fenomenologi.
Asumsi dasar pendekatan gestalt tentang manusia adalah bahwa individu dapat
mengatasi sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama bila mereka menggunakan
kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia sekitarnya.
Individu bermasalah karena terjadi pertentangan antara
kekuatan “top dog” dan antara keberadaan “under dog”. Top dog adalah kekutan
yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah keadaan desensif,
membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi. Individu bermasalah
karena ketidakmampuan seseorang dalam mengintegrasikan pikiran, perasaan dan
tingkah lakunya karena disebabkan mengalami kesenjangan antara masa sekarang
dan masa yang akan datang.
Tujuan konseling gestalt adalah membantu klien untuk
memperoleh kesadaran atas pengalaman dari saat ke saatnya. Menantang klien agar
menerima tanggung jawab atas pengambilan dukungan internal alih-alih dukungan
eksternal. Tahap awal yang di lakukan konselor dalam konseling
gestalt adalah mempertimbangkan kesesuaian konseling gestalt dengan konseli.
Terdapat beberapa pertanyaan yang dapat digunakan konselor untuk melakukan
refleksi.
Terdapat beberapa teknik bahasa,
permainan, dan fantasi yang dapat digunakan untuk mempertahankan orientasi pada
masa sekarang (present-time orientation)
dalam wawancara konseling, antara lain: Kursi kosong (Empty Chair), Topdog
versus underdog, Membuat serial (making the rounds), “saya bertanggung jawab
atas...” (“i take responsibility for...”), Bermain proyeksi (playing
projection), Pembalikan (reversal technique), Latihan gladiresik (the rehearsal
experiment), Latihan melebih-lebihkan (the exaggeration eksperiment), Tetap
pada perasaan (staying with the feeling),Bahasa ‘saya’ ( “I” languange)
2.2 Saran
Berdasarkan
makalah yang telah kami tuliskan dan sampaikan, maka diharapkan bagi pembaca
semoga isi makalah ini mudah dipahami, dapat berguna, dan menambahkan wawasan
yang lebih baik lagi dari makalah yang kami tuliskan. Jika ada kekurangan atau
kesalahan dalam penulisan makalah ini mohon dimaklumi.
DAFTAR PUSTAKA
Corey,
Geral. 2010. Teori dan Praktek Konseling
dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
Gibson,
Robert L dan Marianne H. Mitchell. 2011. Bimbingan
dan Konseling. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar.
Komalasari,
Gentina, Eka Wahyuni & Karsih. 2011. Teori
dan Teknik Konseling.Jakarta: PT Indeks.
Sunardi,
Permanarian dan Musjafak Assjari. 2008. Teori-Teori Konseling: Adaptasi Untuk Anak
Berkebutuhan Khusus. PLB FIP UPI.
Suryabrata,
Sumadi. 2015. Psikologi Kepribadian.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
http://13nixa3asti2.blogspot.co.id/2012/11/gestalt-counseling.html.
[1]
http://13nixa3asti2.blogspot.co.id/2012/11/gestalt-counseling.html
[2] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm. 285
[3] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm. 285-288.
[4] Ibid. Hlm:294
[5] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm. 294
[6] Ibid. Hlm:295
[7] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm. 296
[8] Ibid:296-300
[9] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm. 300-309
[10] Geral Corey. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.
(Bandung: PT Refika Aditama. 2010. Cet -5). Hlm: 121
[11] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm. 289
[12] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm. 290-291
[13] Ibid: hlm:293
[14] Robert L. Gibson & Marianne
H. Mitchell. Bimbingan dan Konseling.
(Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar. 2011. Cet-1). Hlm:227
[15] Robert L. Gibson & Marianne
H. Mitchell. Bimbingan dan Konseling.
(Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar. 2011. Cet-1). Hlm:228
[16] Sumadi Suryabrata. Psikologi Kepribadian. (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada. 2015). Hlm:227
[17] Ibid: Hlm:242
[18] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm. 293-294
[19] Geral Corey. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.
(Bandung: PT Refika Aditama. 2010. Cet -5). Hlm: 123-124.
[20] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm. 310
[21]Permanarian Sunardi &
Musjafak Assjari. Teori-Teori Konseling: Adaptasi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. (PLB FIP UPI. 2008). Hlm: 31
[22] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm:311
[23] Opcit. Hlm:32
[24] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm. 312-317
[25] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni
& Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta:
PT Indeks, 2011). Hlm. 318-324
[26] Geral Corey. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.
(Bandung: PT Refika Aditama. 2010. Cet -5). Hlm: 150
[27] Geral Corey. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.
(Bandung: PT Refika Aditama. 2010. Cet -5). Hlm: 151.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar