Autumn Falling Leaves

Selamat datang di blog kami!! Semoga bermanfaat.. Jangan lupa Like & Comenntnya yaa.. Terimakasih....

Mengembangkan bidang karir berbasis ICT

Model-Model Konseling (Gestalt)

BAB I
PEMBAHASAN
1.1  Biografi Frederick S.Perls
Frederick Perls (1893-1970) adalah pendiri pendekatan konseling Gestalt. Frederick dilahirkan di Berlin dan berasal dari keluarga Yahudi. Masa mudanya adalah masa masa-masa yang penuh dengan masalah. Dia mengganggap dirinya sebagai sumber masalah dalam keluarganya dan dia bermasalah dengan pendidikannya. Bahkan di kelas tujuh, Frederick sempat tinggal kelas sebanyak dua kali dan bahkan keluar dari sekolah karena dia memiliki masalah dengan gurunya. Walaupun di masa mudanya Frederick memiliki masalah dengan pendidikan, tetapi dia dapat menyelesaikan sarjananya, dan pada tahun 1916 dia bergabung dengan angkatan darat Jerman.
Proses perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dia adalah isteri Frederick perls yang secara signifikan turut mengembangkan teori Gestalt. Laura dilahirkan di Pforzheim Jerman. Awal mulanya dia adalah seorang pianis sampai dengan umur 18 tahun. Pada awalnya, Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls secara aktif melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt, hingga pada tahun 1930 akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Di Berlin, Konseling Gestalt memiliki banyak penyokong antara lain adalah Max Wertheimer, Kurt Koffka, dan Wolfgang Kohler, mereka memandang manusia memiliki suatu kecenderungan dasar untuk mencapai keseimbangan, dan kecenderungan ini mengarahkan manusia untuk berfikir dalam arti keseluruhan. Konseling Gestalt dikembangkan oleh banyak ahli, tetapi yang paling banyak dikenal sebagai pendiri (founder)  adalah Fritz Perls dan isterinya, Laura Perls.[1]


1.2  Sejarah Teori Gestalt
Pendekatan gestalt adalah terapi yang termasuk dalam terapi Phenomenologica-existential yang diprakarsai oleh Frederick (Fritz) and Laura Perls pada tahun 1940-an. Pendekatan ini mengajarkan konselor dan konseli metode kesadaran fenomenologi, yaitu bagaimana individu memahami, merasakan, dan bertindak serta membedakannya dengan interprestasi terhadap suati kehadian dan pengalaman masa lalu. Pendekatan gestalt berfokus pada proses (what is happening) daripada isi (what is being discussed). Penekanannya pada apa yang dilakukan, difikirkandam di rasakan pada saat ini dari pada yang sudah, yang mungkin, dan yang harus dilakukan, difikirkan dan dirasakan.
Sejarah pendekatan gestalt di awali sejak tahun 1926 ketika Perls mendapatkan gelar Medical Doctor (M.D.) pergi ke Frankfurt-am-main dan menjadi asisten Kurt Goldstein di  The institute for brain damaged soldiers. Di sinilah perls bekerja sama dengan prof goldstein dan Adhemar Gelb serta ia bertemu dengan calon istrinya, Laura. Terdapat tiga tokoh yang mempengaruhi perkembangan intelektual perls hingga menghasilkan pendekatan gestalt. Pertama, filsuf sigmund friedlander, dari dialah perls mendapatkan konsep tentang differential thinking dan creative indiffrence, yang di sebut dalam buku pertamanya, ego, hunger and aggression (1947). Kedua, perls di pengaruhi oleh jan smuts, perdana menteri afrika utara di mana perls pindah bersama keluarganya ketika melarikan diri dari Nazi german ketika nagi menguaai belanda. Sebelum menjadi perdana menteri smuts telah menulis buku utama tentang hilsm and evolution yang menjadi acuan persfektif gestalt. Ketiga, alfred korzybski, seoang ahli semantik yang berpengaruh pada perkembangan pemikiran intelektual perls.[2]
Pendekatan gestalt dimulai ketika perls menulis ego, hunger and aggretion pada tahun 1941-1942. Terbitan pertama buku ini pada tahun 1946 di afrika utara yang berjudul a revision of freud’s theory and method. Kemudian buku ini di terbutkan dengan judul  the beginning of gestalt therapy pada tahun 1966. Kata “gestalt therapy”pertama kali digunakan sebagai judul buku yang di tulis oleh frederick perls, ralph hefferline ang paul goodman pada tahun 1951.
Walaupun pada awalnya perls adalah seorang psikoanalisis, ia mengkritik pendekatan psikoanalisis freud. Pertama, pendekatan psikoanalisis bersifat mekanistik sedangkan gestalt melihat manusia secara holistik. Gestalt melihat setiap elemen kepribadian berubungan dengan keseluruhan kepribadian. Kedua, gestalt menekannkan pada kesadaran disini dan sekarang (here and now) dan menekannkan pentingkanya mengevaluasi kondisi dan situasi konseli sekarang. Ketiga, gestlat thrapy berfokus pada proses sementara psikoanalisis berfokus pada isi kepribadian. Keempat, proses konseling bertujuan mencapai pemahaman diri tentang apa yang mereka lakukan pada saat ini, sementara psikoanalisis berfokus pada mengapa individu bertingkah laku[3].
1.3  Konsep Dasar Teori Gestalt
1.3.1   Disini Da Sekarang (Here And Now)
Pendekatan ini mengutamakan masa sekarang, segala sesuatu tidak ada kecuali yang ada pada masa sekarang (the now), karena masa lalu telah berlalu dan masa depan belum sampai, hanya masa sekarang yang penting. Ini karena dalam pendekatan gestalt mengekspresikan pengalaman pada masa kini.  Menurut perls kecemasan yang dia alami individu karena ada jarak antara kenyataan masa sekarang dan harapan masa yang akan datang. Menurutnya ketika individu mulai berfikir, merasa, dan bertindak dari masa kini namun dikuasai oleh harapan-harapan masa depan. Kecemasan yang di alami individu disebabkan oleh harapan katastropik (catastrophic expectation), yaitu kecemasan akan kejadian-kejadian buruk dan tidak menyenangkan yang akan terjadi di masa yang akan datang dan harapan anstropik (anstrophic expectation) yaitu, harapn-harapan yang berlebihan bahwa hal-hal yang baik dan menyenangkan yang akan terjadi di masa depan.[4]
Dalam konseling gestalt untuk membantu konseli melakukan kontak dengan masa sekarang, konselor menggunakan kata kata tanya “apa” (what) dan “bagaimana” (how)danjarang sekali menggunakan kata “mengapa” (why). Kata tanya “mengapa” (why) dikategorikan sebagai “kata kotor” (dirty word) karena mengiring konseli untuk melakukan rasionalisasi dan khayalan diri (self deception). Ketika konselor membahas masa lalu yang signkifikan maka konselor membawanya ke masa sekarang.[5]
1.3.2   Lapisan Neurosis (Layer  Of Neurosis)
Individu memiliki 5 lapisan neurosisi dalam dirinya yang di umpamakan seperti kulit bawang yang berlapis-lapis. Bila individu ingin mencapai kematangan psikologis, merteka harus mengelupas lima lapisan neurosis ini diantaranya ialah:[6]
1.      Lapisan phony (the phony layer), terdiri dari reaksi orang lain dengan cara streotip dan tidak autentik. Pada lever ini individu bermain dengan kehilangnan perannya. Dengan bertingah laku sebagai pribadi yang bukan dirinya, individu hidup dalam fantasi yang diciptakan oleh diri sendiri dan orang lain.
2.    Lapisan phobic (thebphobic layer), individu berusaha menghindari kesakitan emosional yang berhubungan dengan melihat hal-hal dalam diri yang sebenarnya di pulih untuk dihindari. Pada poin ini individu cenderung untuk resisten menerima diri sendiri.
3.    Lapisan impasse (the impasse layer), ditaha ini individu mengalami kemacetan dalam perkembangan. Individu menganggap bahwa ia tidak bisa bertahan hidup (survive), karena ia merasa ia tidak memiliki sumber dan potensi utuk perkembangan tanpa dukungan lingkungan. Ia cenderung berusaha memanipulasi li ngkungan untuk melihat, mendengar, merasa, berfikir dan mengambil keputusan untuk dirinya.
4.    Lapisan implosif (the implosive layer), disini individu dapat menerima bahwa ia mengalami perasaan kematian dan kehampaan, kemudia ia menghadapinya dan tidak menghindarinya, maka lapisan implosifnya mulai terbuka.
5.    Lapisan eksplosif (the eksplosif layer), lapisan di mana individu melakukan kontak dengan kematian dan kehampaan kemudian melepaskan phony roles dan kepura-puraan, maka individu melepaskan energi yang besar yang selami ini dipertahankan dengan berpura-pura menjadi orang yang bukan dirinya sbenarnya. Ketika eksposive layer terbuka, maka individu dapat melakukan kontak dengan orang lain, dengan dirinya, yang asli dan autentik. Individu dapat memperlihatkan dirinya yang asli dan mengekspresikan kepedihan, kesenangan dan kemarahannya tanpa harus menutup-nutupinya.

1.3.3   Bentuk-Bentuk Pertahanan Diri (Modes Of Defense)
1.      Introyeksi (intrijection), merupakan masukkan ide-ide, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi tentang diri individu, seperti apa individu seharusnya dan bagaimana individu harus bertingkah laku.
Proses introyeksi memiliki beberapa efek, diantaranya yaitu: rasa bersalah (guilt), perfeksionis (perfectionism), rendah diri (low self-esteem), ketidak mampuan menerima pyjian (inability to accept compliment), hanya ke anglesey 9only to anglesey) yaitu ekspresi yang menjelaskan bahwa individu tidak pernah melihat dirinya dan apa yang dilakukannya tidak pernah memuaskan dirinya.[7]
2.      Proyeksi (projection), merupakan proses dimana individu melakukan atribusi kepada pemikiran, perasaan, keyakinan dan sikap orang lain yang seberanya adalah bukan milik individu. Dampak efek negatif dari proyeksi diantarnya yaitu:[8]
a.    Individu membangun batas-batas untuk melakukan kontak dengan individu lain.
b.    Individu membangunkan kembali proses introyeksi yang telah terjadi di masa lalu, dan menghadirkannya pada masa sekarang sebagai proyeksi.
c.    Invidu merasa terkucil dari kelompoknya dan ia merasa menjadi outsider.
d.   Individu tidak dapat merasa orang lain lebih baik dari dirinya.
e.    Individu menyalahkan orang lain karna ia tidak dapat mencapai sesuatu yang di inginkan.
f.     Individu menyalahkan benda-benda disekitarnya atau cuaca seperti hujan dan panas sebagai rekasi dari ketidak nyamanan psikologisnya.
g.    Individu selalu mencari kambing higam untuk segala sesuatu yang tidak sesuai dengan standar dan keinginan dirinya.
h.    Individu mefrasakan kehampaan
3.    Retrofleksi, merupakan proses dimana ndividu mengembalikan implus-implus dan respons-respons kepada dirinya karena ia tidak dapat mengekspresikannya kepada orang lain dan lingkungan. Dalam hal ini ia menekan perasaannya kartena ia tidak dapat menerima kehadiran perasaan tersebut, atau individu mengetahui dan mempercayai bahwa perasaan itu tidak dapat diterima oleh orang lain di sekitarnya. Retrofleksi memiliki efek psikomatis diantaranya: bahu yang kaku (the frozen shouder), dan cacat karena ketakutan (paralyzed with fear).
4.    Defleksi (deflection), merupakan metode penghindaran (avoidance0, adalah cara mengubah pertanyaan atau pernyataan menjadi memiliki makna lain sehingga individu dapat menghindari dari merespon pertanyaan atau pernyataan tersebut. Defleksi dapat terlihat dari penggunaan humor yang berlebihan, menjawab pertanyaan dengan tersenyum atau tertawa, melakukan generalisasi abstrak dan menghindari kontak mata.
5.    Confluence damn isolasi (isolation), secara harfiah artinya adalah menyatu, maknanya adalah bahwa individu (saya) berada dalam hubungan dengan lingkungan, menjadi orang lain, tempat, objek, atau ideal-ideal.ia tidak dapat membedakan antara dirinya dan lingkungannya, selalu sesuai dan tidak ada konflik antara keyakinan dan pikiran oarang lain dengan dirinya.[9]


6.    Urusan yang tak usai.
Dalam pendekatan gestalt  terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai, yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa diabaikan dsb.[10]

1.4  Pandangan Teori Gestalt Tentang Hakikat Manusia
Pandangan pendekatan gestalt terhadap manusia dipengaruhi oleh filsafat ekstensial dan fenomenologi. Asumsi dasar pendekatan gestalt tentang manusia adalah bahwa individu dapat mengatasi sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama bila mereka menggunakan kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia sekitarnya. Gestalt berpendapat bahwa individu memiliki masalah karena menghindari masalah oleh karena itu pendekatan gestalt mempersiapkan individsu dengan interveesi dan tantangan untuk membeantu konseli mencapai integrasi diri dan menjadi lebih autentik.
Perls melihat manusia sebagai organisme yang total bukan hanya memiliki potensi otak. Menurutnya individu akan lebih baik  bila mereka kehilangan pikiran mereka dan beralih ke sensasi, artinya bahwa badan dan perasaan adalah indikator yang lebih baik dan bisa dipercaya untuk melihat kondisi psikologis individu. Dengan kata lain perbalisasi melalui kata-kata sering kali menutupi kondisi diri individu yang sebenarnya. Tanda-tanda yang diperlihatkan oleh tubuh manusia seperti sakit kepala, tegang pada leher, sakit perut mungkin lebih dapat dipercaya dalam mengindikasikan bahwa bahwa individu perlu mengubah tingkah lakunya. Perls percaya bahwa kesadaran (aweareness) saja bisa menjadi obat bagi permasalahan individu. Dengan kesadaran penuh, individu dapat mengembangkan pengaturan diri (self regulation) dan dapat mengontrol dirinya.[11]
Menurut pendekatan gestalt, area yang paling penting yang harus diperhatikan dalam konseling adalah pemikiran dan perasaan yang individu alami pada saat sekarang. Perilaku yang normal dan sehat terjadi bila individu bertindak dan bereaksi sebagai organisme yang total, yaitu memiliki kesadaran pada pemikiran, perasaan dan tindakan pada masa sekarang. Banyak orang yang memisahkan kehidupannya dan lebih berkonsentrasi serta memfokuskan perhatiannya pada poin-poin dan kejadian-kejadian tertentu dalam kehidupannya. Hal ini menyebabkan fragmentasi dalam diri yang dapat terlihat dari gaya hidup yang tidak efektif yang berakibat pada produktivitas yang rendah bahkan membuat masalh kehidupan yang lebih serius.[12]
Individu yang sehat secara mental menurut pendekatan gestalt adalah:
a.    Individu yang dapat mempertahankan kesadaran tanpa dipecah oleh berbagai stimulasi dari lingkungan yang dapat menganggu perhatian individu. Orang tersebut dapat secara penuh dan jelas mengalami dan mengenali kebutuhannya dan alternatife potensi lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.
b.    Individu yang dapat merasakan dan berbagi konflik pribadi dan frustasi tapi dengan kesadaran dan konsentrasi yang tinggi tanpa ada campuran dengan fantasi-fantasi.
c.    Individu yang dapat membedakan konflik dan masalah yang dapat diselesaikan dan tidak dapat diselesaikan.
d.   Individu yang dapat mengambil tanggung jawab atas hidupnya.
e.    Individu yang dapat berfokus pada satu kebutuhan (the figure) pada satu waktu sambil menghubungkannys dengan kebutuhan yang lain (the  ground), sehingga ketika kebutuhan itu terpenuhi disebut juga gestalt yang sudah lengkap
Selain itu, gestalt menjelaskan orang yang neurotik sebagai individu yang ingin mencapai terlalu banyak kebutuhan pada saat yang bersamaan, sehingga ia gagal untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Orang yang neurotik juga merupakan orang yang menggunakan potensinya untuk memanipulasi orang lain untuk malakukan sesuatu mereka, sehingga mereka tidak perlu malakukannya sendiri. Menurut.[13]
Menurut pendekatan gestalt, individu yang sehat adalah individu yang dapat melengkapi siklus gestalt. Bila individu tidak dapat menggenapi siklus tersebut, maka individu akan memiliki beberapa masalah yang berkaiitan dengan lapisan neurosis, urusan yang tidak selesai (Unfinished business), dan berbagai bentuk pertahanan diri (modes of defense).  
Seperti yang dikutip george dan Cristiani (1995, Hlm: 66), Person mendata asumsi dasar hakikat manusia berikut ini sebagai kerangka kerja konseling Gestalt:[14]
1.      Individu tersusun sepenuhnya dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Tak satupun dari bagian ini tubu, emosi, pikiran, sensasi dan terepsi bisa dimengerti jika terpisah dari keseluruhan kontek pribadinya.
2.      Individu-individu juga bagian dari lingkungannya sendiri dan tidak bisa dimengerti jika terpisah darinya.
3.      Individu-individu memilih cara mereka merespon stimuli eksternal dan internal mereka adalah aktor bukan reaktor.
4.      Individu-individu memiliki potensi untuk menyadari sepenuhnya semua sensasi, pikiran, emosi dan persepsi.
5.      Individu-individu sanggup melakukan pilihan tertentu karena sadar betul akan dirinya, lingkungannya dan kebutuhannya.
6.      Individu-individu memiliki kapasitas untuk mengatur hidup mereka sendiri secara efektif.
7.      Indidvidu-individu tidak bisa mengalami masa lalu dan masa depan mereka dapat mengalami hanya diri mereka dimasa kini (disini dan sekarang).
8.      Individu pada dasarnya bukan baik atau buruk.
Dari asumsi-asumsi ini kita bisa menyimpulkan terapis Gestalt memiliki pandangan positif mengenai kapasitas individu untuk mengarahkan diri. Lebih jauh lagi, klien harus didukung untuk menggunakan kapasitas ini dan mengambil tanggung jawab bagi hidupnya sendiri dan untuk melakukan sekarang, dimasa kini,  ia haru mengalami disini dan sekarang. Teknik-teknik konselingnya meliputi pertanyaan bagaimana dan apa, konfrontaso-konfrontasi, pernyataan aku dan bebagi kesadaran bersama klien dengan menitikberatkan momen ini.[15]
1.5  Perkembangan Kepribadian Manusia Menurut Teori Gestalt
Manifestasi penting yang pertama tentang pengaruh teori medan dalam psikologi nampak dalam aliran psikologi Gestalt. Pokok pikiran teori Gestalt bahwa cara objek diamati (kesan yang diperoleh oleh si pengamat) itu ditentukan oleh keseluruhan konteks dimana objek itu ada. Jadi yang menentukan kesan pengamatan itu terutama adalah saling hubungan antara komponen-komponen medan pengamatan.[16]
Hakikat perkembangan itu menurut Lewin adalah perubahan-perubahan tingkah laku (behavioral changes):[17]
1.      Perkembangan berarti perubahan di dalam variasai tingkah laku. Makin bertambah umur seseorang variasi kegiatan, perasaan, kebutuhan, hubungan sosialnya makin bertambah.
2.      Perkembangan berarti perubahan dalam organisasi dan struktur tingkah laku. Semakin tambah umur maka semakin banyak relasinya, dapat mempunyai tujuan diluar perbuatan yang dilakukannya dan sekaligus dapat mengerjakan berbagai hal.
3.      Perkembangan berarti bertambahnya luas arena aktivitas. Makin bertambah dewasa maka anak dapat memikirkan masa lampau dan merencanakan masa depannya.
4.      Perkembangan berarti perubahan dalam taraf realitas. Makin bertambah usia maka makin dapat membedakan yang khayal dan yang nyata.
5.      Perkembangan berarti makin terdiferensiasinya tingkah laku. Makin tambah usia maka koordinasi antara bagian menjadi lebih baik.
6.      Perkembangan berarti diferensiasi dan stratifikasi. Makin bertambah usia maka makin bertambah daerah dalam pribadi dan lingkungan psikologisnya.

1.6  Perilaku yang Bermasalah Menurut Teori Gestalt
Asumsi dasar terapi gestalt adalah bahwa individu-individu mampu menangani sendiri masalah-masalah hidupnya secara efektif. Individu sering kali mengalami masalah dengan orang lain di masa lalu. Menuurut Gestalt, masa lalu yang belum terselesaikan atau terpecahkan disebut dengan Unfinished Business yang dapat dimanifestasikan dengan munculnya kemarahan, amukan, kebencian, cemas, duka ciat, rasa bersalah dan perilaku menunda, (Polster, dalam Corey, 2005) menyatakan bahwa beberapa bentuk perilaku akibat Unfinished Business adalah seseorang akan asyik dengan dirinya sendiri, memaksa orang lain untuk menuruti kehendakny, bentuk-bentuk perilaku yang menempatkan dirinya sebagai orang kalah, bahkan sering kali muncul  simptom-simptom penyakit fisik.
Individu bermasalah karena terjadi pertentangan antara kekuatan “top dog” dan antara keberadaan “under dog”. Top dog adalah kekutan yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah keadaan desensif, membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi. Individu bermasalah karena ketidakmampuan seseorang dalam mengintegrasikan pikiran, perasaan dan tingkah lakunya karena disebabkan mengalami kesenjangan antara masa sekarang dan masa yang akan datang.
Perkembangan yang terganggu adalah tidak terjadi keseimbangan antara apa-apa yang harus (self-image) dan apa-apa yang diinginkan (self):
1.      Terjadi pertentangan antara keberadaan sosial dan biologis.
2.      Ketidakmampuan individu mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya.
3.      Mengalami kesenjangan sekarang dan yang akan datang.
4.      Melarikan diri dari kenyataan yang harus dihadapi.
Menurut gestalt individu menyebabkan dirinya terjerumus pada maslah-masalah tambahan, karena tidak mengatasi kehidupannya dengan baik pada kategori di bawah ini:
a.    Kurang kontak dengan lingkungan, yaitu individu menjadi kaku dan memutus hubungan antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan.
b.    Confluence, yaitu individu yang tarlalu banyak memasukkan nilai-nilai dirinya kepada orang lain atau memasukkan nilai-nilai lingkungan pada dirinya, sehingga mereka kehilangan pijakan dirinya dan kemudian lingkungan yang mengontrol dirinya.
c.    Unfinishedbusines,yaitu orang yang memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi, perasaan yang tidak di ekspresikan dan situasi yang belum selesai yang menganggu perhatiannya ( yang mungkin di manifestasikan dalam mimpi).
d.   Fragmentasi, yaitu orang yang mencoba untuk menemukan atau menolak kebutuhannya seperti kebutuhan agresi
e.    Topdog/underdog: orang yang mengalami perpecahan pada kepribadiannya, yaitu antara apa yang mereka fikir “harus” dilakukan (topdog) dan apa yang mereka “inginkan” (underdog)
f.      Polaritas atau dikotomi, yaitu orang yang cenderung untuk “bingung dan tidak dapat berkata-kata (speecheles)” pada saat terjadi dikotomi dalam dirinya seperti antar tubuh dan pikiran (body and mind), antar diri dan lingkuangan (self external world), antara emosi dan kenyataan (emotion reality) dan sebagainya. Ada 5 tipe polaritas menurut Assagioli diantaranya yaitu:
1)   Polaritas fisik, yaitu polaritas maskulin dan feminin
2)   Polaritas emosi, yaitu polaritas antara kesenangan dan kesakitan, antara kesenangan (excitement) dan depresi, serta antara cinta dan benci.
3)   Polaritas mental, yaitu polaritas antara ego orang tua dan ego anak, antara eros (perasaan) dan logos (akal sehat), serta antara yang harus dilakukan (topdog) dan yang di inginkan (underdog).
4)   Polaritas spiritual, yaitu polaritas antara laki-laki dan perempuan.[18]

1.7  Tujuan Konseling Gestalt
Terapi gestalt memiliki beberapa sasaran penting yang berbeda. Sasaran dasarnya adalah menantang klien agar berpidah dari “didukung oleh lingkungan” kepada “didukung oleh diri sendiri”. Menurut Perls, sasaran terapi adalah menjadikan pasien menemukan sejak awal bahwa dia bisa melakukan banyak hal, lebih banyak daripada yang dikiranya.
Sasaran utama terapi gestalt adalah pencapaian kesadaran. Kesadaran pada dirinya sendir; dipandang kuratuf. Tanpa kesadaran, klien tidak memiliki alat untuk mengubah kepribadiannya. Dengan kesadaran, klien memiliki kesanggupan untuk menghadapi dan menerima bagian-bagian keberadaan yang diingkarinya serta untuk berhubungan dengan pengalaman-pengalaman subjektif dan dengan kenyataan. Klien bisa menjadi suatu kesatuan dan menyeluruh. Apabila klien menjadi sadar, maka urusannya yang tidak selesai muncul sehingga bisa ditangani dalam terapi.[19]
Tujuan dari konseling gestalt adalah menciptakan eksperimen dengan konseli untuk membantu konseli:
1.    Mencapai kesadaran atas apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka malakukannya. Kesadaran itu termasuk di dalamnya, insight, penerimaan diri, pengetahuan tentang lingkungan, tanggung jawab terhadap pilihannya
2.    Kemampuan untuk melakukan kontak dengan orang lain
3.    Memiliki kemampuan mengenali, menerima mengekspresikan perasaan, pikiran dan keyakinan diri.[20]

1.8  Peran Konselor
Prinsip penting dalam terapi gestalt adalah di sini dan saat ini (here and now). Konsekuensinya, konselor hendaknya lebih mengutamakan pentingnya penyadaran klien (anak berkbutuhan khusus) terhadap situasi dan kondisi saat ini dan disini, melalui penggunaan prinsip “now”, “what” dan “how”. Bukan melalui prinsip “why”, karena hanya akan mengarahkan kepada masa lalu yang tidak pernah sampai kepada jawaban yang memadai. Bagi klien, kondisi saat ini adalah unfinished business. Karena itu, yang penting bagi konselor adalah bagaimana klien dapat menyadari kondisi-kondisinya atau masalah-masalahnya saat ini dan bagaimana harus berbuat untuk mengatasinya. Sedangkan masa depan (the future) adalah sesuatu yang belum muncul, sehinga tidak perlu terlalu dirisaukan.  Pandangan teori gestalt tentang nilai positif dari frustrasi, tampaknya juga harus dimanfaatkan konselor dengan membuat klien menjadi “kecewa”, sehingga klien dipaksa untuk dapat menemukan potensi-potensinya dan cara-cara mengatasi masalahnya, dengan memahami dan menemukan kembali unfinished business-nya. Dalam konteks ini pemberian motivasi kepada klien menjadi penting.[21]

1.9  Proses dan Teknik-Teknik Konseling Gestalt
1.9.1    Proses Konseling Gestalt
Tahap awal yang di lakukan konselor dalam konseling gestalt adalah mempertimbangkan kesesuaian konseling gestalt dengan konseli. Terdapat beberapa pertanyaan yang dapat digunakan konselor untuk melakukan refleksi, antara lain: Apakah konselor memiliki kapasitas dan kompetensi untuk menangani masalah konseli? Apakah konselor tertarik untuk menangani masalah konseli? Apakah konseli bersedia melakukan konseling dengan teknik-teknik gestalt? Apakah konseli cocok untuk menggunakan konseling dengan pendekatan gestalt?[22]
Sofyan H. Wilis (2004) menyatakan bahwa proses konseling dalam terapi gestalt mengikuti lima hal penting, yaitu:[23]
1.      Permulaan, dilakukan setelah konselor memperoleh fakta atau penjelasan mengenai sesuatu gejala, dengan segera memberi jawaban.
2.      Pengawasan, yaitu kemampuan konselor untuk menyakinkan atau memaksa klien mengikuti prosedur konseling, melalui motivasi dan rapport.
3.      Potensi, yaitu usaha konselor untuk mempercepat terjadinya perubahan perilaku dan sikap serta kepribadian klien.
4.      Kemanusiaan, meliputi pengenalan secara pribadi dan emosional, mendorong, serta bersikap terbuka.
5.      Kepercayaan, termasuk kepercayaan diri konselor dalam membantu klien.
Joyce  dan sill mengatakan bahwa proses konseling gestalt terjadi dalam tahapan tertentu yang fleksibel. Tiap-tiap tahap memiliki prioritis dan tujuan tertentu ysng membantu konselor dalam mengorganisasikan proses konseling. Tahap-tahap tersebut yaitu:[24]
1.    Tahap pertama (the beginning phase).
Disini konselor menggunakan metode fenomenologi untuk meningkatkan kesadaran konseli, menciptakan hubungan dialogis mendorong keberfungsian konseli secara sehat dan menstimulasi konseli untuk mengembangkan dukungan pribadi (personal support) dan lingkungannya. Proses yang dilalui dalam tahap pertama ini ialah:
a.       Menciptakan tempat yang aman dan nyaman (safe container) untuk proses konseling.
b.      Mengembangkan hubungan kolaboratif.
c.       Mengumpulkan data, pengalaman konseli, dan keseluruhan gambaran kepribadiannya dengan pendekatan fenomenologis.
d.      Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab pribadi konseli.
e.       Membangun sebuah hubungan yang dialogis.
f.       Meningkatkan self support, khususnya dengan konseli yang memiliki proses diri yang rentan.
g.      Mengidentifikasi dan mengklarifikasikan kebutuhan-kebutuhan konseli dan tema-tema masalah yang muncul.
h.      Membuat prioritas dan kesimpulan diagnosis terhadap konseli.
i.        Mempertimangkan isu-isu budaya dan isu-isu lainnya yang memiliki perbedaan potensial antara konselor dan konseli serta mempengaruhi proses konseling.
j.        Konselor mempersiapkan rencana untuk menghadapi kondisi-kondisi khusus dari konseli, seperti menyakiti diri sendiri, kemarahan yng berlebihan dan sebagainya.
k.      Bekerjasama dengan konseli untuk membuat rencana konseling.
2.    Tahap kedua (clearing the ground).
Pada tahap ini konseli mengekplorasi berbagai introyeksi, berbagai modifikasi kontrak yang dilakukan dan unfinished business. Peran konselor adalah secara berkelanjutan mendorong dan membangkitkan keberanian konseli mengungkapkan ekspresi pengalaman dan emosi-emosinya dalam rangka kataris dan menawarkan konseli iuntuk melakukan berbagai eksperimentasi untuk menibgkatkan kesadarannya, tanggung jawab pribadi dan memahami unfinished business. Adapun pros tahap ini meliputi:
a.    Mengeksplorasi introyeksi-introyeksi dan modifikasi kontak.
b.    Mengatasi urusan yang tidak selesai (unfinished business).
c.    Mendukung eksprsi-ekspresi konseli atau proses kataris.
d.   Melakukan ekperimentasi perilaku baru dan memperluas pilihan-pilihan bagi konseli.
e.    Terlibat secara terus menerus dalam hubungan yang dialogis.
f.     Tahap ketiga (the existential encounter)
Pada tahap ini di tandai dengan aktivitas yang dilakukan konseli dengan mengeksplorasi masalahnya secara mendalam dan membuat perubahan-perubahan yang cuckup signifikan. Tahap ini merupakan fase tersulit karena pada tahap ini konseli menghadapi kecemasan-kecemasannya sendiri, ketidak pastian dan ketakutan-ketakutan yang selama ini terpendam dalam diri. Tahap ini merupakan fase tersulit karena pada tahap ini konseli menghadapi kecemasan-kecemasannya sendiri, ketidakpastian dan ketakutan-ketakuitan yang selama ini terpendam dalam diri. Selain itu, konseli menghadapi perasaan terancam yang kuat disertai dengan perasaan kehilangan harapan untuk hidup yang lebih mapan. Pada fase ini konselor memberikan dukungan dan motivasi berusaha membrikan keyakinan ketika konseli cemas dan ragu-ragu menghadapi masalahnya. Ada beberapa langkah yang di lalui pada tahap ini, yaitu:
a.    Menghadapi hal-hal yang tidak diketahui dan mempercayai regulasi diri organistik jklien untuk berkembang.
b.    Memiliki kembali bagian diri konseli yang tadinya hilang atau tidak diakui.
c.    Membuat suatu keputusan eksistensial untuk hidup dan terus berjalan.
d.   Bekerja secara sistematis dan terus menerus dalam mengatasi keyakinan konseli yang destruktif, tema-tema kehidupan klien yang negative.
e.    Memilih hidup dengan keberanian menghadapi ketidakpastian.
f.     Berhubungan dengan makna-makna spiritual.
g.    Mengalami sebuah hubungan perbaikan yang terus menerus berkembang.

3.    Tahap keempat (integration).
Pada tahap ini konseli sudah mampu mengintegrasikan keseluruhan diri (self), pengalam dan emosi-emosinya dalam perspektif yang baru.
a.    Membentuk kembali pola-pola hidup dalam bimbingan pemahaman baru dan insight baru.
b.    Memfokuskan pada pembuatan kontrak relasi yang memuaskan.
c.    Berhubungan dengan masyarakat dan komunitas secara luas.
d.   Menerima ketidak pastian dan kecemasan yang dapat menghasilkan makna-makna baru.
e.    Menerima tanggung jawab untuk hidup.

4.    Tahap kelima (ending).
Pada tahap ini konseli siap untuk memulai kehidupan secara mandiri tanpa supervisi konselor. Tahap pengakhiran ditandai dengan sebagai berikut:
a.    Berusaha untuk melakukan tindakan antisipasi akibat hubungan konseling yang telah selesai.
b.    Memberikan proses pembahasan kembali isu-isu yang ada.
c.    Merayakan apa yang telah dicapai.
d.   Menerima apa yang belum tercapai.
e.    Melakukan antisipasi dan perncanaan terhadap krisis di masa depan.
f.     Memberikan pergi dan terus melanjutkan kehidupan.



1.9.2    Teknik-Teknik Konseling Gestalt
Terdapat beberapa teknik bahasa, permainan, dan fantasi yang dapat digunakan untuk mempertahankan orientasi pada masa sekarang (present-time orientation) dalam wawancara konseling, antara lain:[25]
1.    Kursi kosong (Empty Chair).
Teknik ini bertujuan untuk membantu mengatasi konflik interpersonal dan intrapersonal. Teknik ini da[at membantu konseli untuk keluar dari proses introyeksi. Pada teknik ini konselor menggunakan 2 kursi dan meminta konseli untuk duduk di satu kursi dan berperan sebagai topdog. Kemudian berpindah ke kursi lainnya dan menjadi underdog. Dialognya dilakukan secara berkesinambungan pada dua peran tersebut. Dengan teknik ini, introyeksi akan terlihat dan konseli dapat merasakan konflik yang ia rasakan secara lebih real. Konflik tersebut akan dapat diselesaikan dengan penerimaan dam integrasi antara kedua peran tersebut. Teknik ini membantu konseli untuk merasakan perasaannya tentang konflik perasaan dengan mengalami secara penuh.
Menurut Greenberg Ada 6 langkah dalam menggunakan teknik kursi kosong ini di antaranya adalah:
a.    Konseli mengidentifikasi orang yang menjadi sumber unfinished business.
b.    Konseli merespon seperti yang ia yakini orang tersebut akan merespon.
c.    Konseli melakukan dialog sampai pada poin tercapainya relusi untuk menyelesaikan unfinished business.
d.   Konseli memahami unfinished business dari figure to ground dalam kesadaran konseli.

2.      Topdog versus underdog.
Topdog merupakan perasaan marah bila sesuatu tidak sesuai dengan nilai dan norma moral, autoritarian, dan mengetahui yang terbaik. Topdog adalah orang yang menggunakan kekuatannya untuk menekan dan menakuti orang lain dan bekerja dengan kata “kamu harus” dan “kamu tidak boleh”. Sementara itu, underdog manipulatif dengan menjadi defensif, merengek dan menangis seperti bayi. Underdog bekerja dengan kata “saya mau” dan mencari alasan seperti “saya sudah berusaha keras”.
Teknik ini menggunakan 2 kursi untuk membantu mengatasi konflik antara “yang saya inginkan” dan “yang seharusnya”. Satu kusi menjadi topdog (yang seharusnya) dan yang satu lagi menjadi underdog (yang saya inginkan) konseli diminta untuk memeberikan argumen terbaik dengan posisis topdog dan di pindah ke kursi underdog. Kemudian konseli diminta berargumen sampai mencapai poin di mana konseli mencapai integrasi dari topdog dan apa yang di inginkan (underdog).

3.      Membuat serial (making the rounds).
Merupakan latihan gestalt yang melibatkan individu untuk berbica atau melakukan sesuatu kepada orang lain. Tujuan untuk membuka diri, melatih tingkah laku baru, dan untuk melakukan perubahan.

4.      “saya bertanggung jawab atas...” (“i take responsibility for...”).
Teknik ini bertujuan untuk menyadari dan mempersonalisasikan perasaan dan tingkah lakunya.

5.      Bermain proyeksi (playing projection).
Merupak individu yang meluihat secara jelas pada orag lain apa yang tidak ingin dilihaat dan, menerima dirinya. Individu yersebut berusaha keras untuk menolak perasaannya dan menyalahkan orang lain atas kejadian yang terjadi pada dirinya. Teknik ini biasanya dilakukan dengan setting kelompok, namun bisa juga diberikan pada setting individual.
6.      Pembalikan (reversal technique).
Asumsi teknik ini adalah bahwa gejakla dan tingkah laku tertentu sering kali merefrentasikan impuls-impuls yang ditekan dan laten ada dalam diri individu. Ini juga bertujuan untuk mengajak konseli untuk mengambil resiko terhadaop ketakutan, kecemasan dan melakukan kontak dengan bagian dirinya yang selama ini ditolak dan ditekan. Untuk itu, konselor meminta konseli untuk melakukan tingkah laku yang kebalikan darai apa yang ia katakan.
7.      Latihan gladiresik (the rehearsal experiment)
Individu cenderung mengulang fantasi-fantasi yang individu rasa bahwa itu adalah harapan-harapan dari lingkungannya. Sehingga ketika individu berada dalam lingkungan tersebut, ia menjadi ketakutan, cemas karena ia tidak akan dapat menampilkan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Teknik ini dapat diyterapkan melalui permainan sharing. Individu diminta mengatakan pada orang lain tentang fantasi-fantasi yang sering ia katakan dan ulang-ulang secara internal dalam dirinya. Dengan mengatakan secara verbal kepada orang lain, konseli dapat membedakan fantasi dan kenyataan serta dapat menguji coba tingkat ekspektasi orang lain. Hal ini membuat konseli dapat mengukur seberapa besar ia ingin diterima dan disukai orang lain, serta seberapa besar usaha yang harus dilakukan untuk mencapainya.
8.      Latihan melebih-lebihkan (the exaggeration eksperiment)
Teknik ini membangtu konseli untuk menjadi lebih sadar pada tanda-tanda bahasa tubuh. Gerakan, postur tubuh, ekspresi wajah dan gerakan tubuh menjadi sarana komunikasi yang memiliki makna yang signifikan. Pada teknik ini, konseli diminta untuk mengulang kembali secara berlebihan gerakan dan bahasa tubuh yang biasa dilakukan seiring dengan tingkah laku tertentu.
9.      Tetap pada perasaan (staying with the feeling)
Pada teknik ini konselor meminta konseli untuk tetap pada perasaan ketakutan dan kesakitan dan merasakannya pada proses konseling. Konselormendoroong mkonseli untuk merasakan dan melakukan kegiatan yang cenderung dihindarinya. Dengan menghadapi, mengkonfrontasi, dan mengalami perasaan tidak saja dapat membuat konseli menjadi lebih berani, tetapi juga membangkitkan keinginan untuk mengatasi kesakitan. Hal ini dimungkinkan karena konseli membuka diri untuk mengalami kesakitan dan membuka jalan untuk melangkah ke arah yang lebih positif.
10.  Bahasa ‘saya’ ( “I” languange)
Konselong mendorong konseli untuk menggunakkan kata “saya” (I) ketika konseli mengeneralisasikan kata “kamu” (you) dalam bicara. Contohnya ketika konseli berkata: “kamu tau kan susah sekali untuk mengerti matematika”. Konseli diminta mengganti kata kamu dengan saya, “saya tau bahwa saya tidak mengerti matematika”. Ketika konseli berusah mengganti dengan kata “saya” diumpamakan seperti melihat sepasang sepatu dan bagaimana pasangan itu menjadi serasi. Teknik ini bertujuan utnuk membantu konseli bertanggung jawab atas perasaan, pikiran dan tingkah lakunya.

1.10  Kelebihan Teori Gestalt
Kelebihan-Kelebihan Terapi Gestalt:[26]
1.      Terapi Gestalt adalah suatu pendekatan konfrontif dan aktif.
2.      Terapi Gestalt menangani masa lampau dengan membawa aspek-aspek masa lampau yang relevan ke saat sekarang.
3.      Terapi Gestalt menggairahkan hubungan dan pengungkapan perasaan-perasaan langsung, dan menghindari intelektualisasi abstrak tentang masalah-masalah klien.
4.      Terapi Gestalt memberikan perhatian terhadap pesan-pesan nonverbal dan pesan-pesan tubuh.
5.      Terapi gestalt menolak mengakui ketidkberdayaan sebagai alasan untuk tidak berubah.
6.      Terapi Gestalt meletakkan penekana pada klien untuk menemukan makna-maknanya sendiri dan membuat penafsiran-penafsiran sendiri.
7.      Dalam waktu yang sangat singkat, para klien bisa mengalami perasaan-perasaannya sendiri secara intens melalui sejumlah latihan Gestalt.




1.11  Kelemahan Teori Gestalt
Kekurangan-kekurangan terapi gestalt:[27]
1.      Terapi Gestalt tidak berlandaska  suatu teori yang kukuh.
2.      Terapi Gestalt cenderung antiintelektual dalam arti kurang memperhitungkan faktor-faktor kognitif.
3.      Secara filosofis terdapat bahaya yang nyata dalam gaya hidup “aku mengerjakan urusanku dan kamu mengerjakan urusanmu”. Terapi Gestalt menekankan tanggung jawab atas diri sendiri, tetapi mengabaikan tanggung jawab kita kepada orang lain.
4.      Terdapat bahaya yang nyata bahwa terapis yang menguasai teknik-teknik Gestalt akan menggunakannya secara mekanis sehingga terapis sebagai pribadi tetap sembunyi.
5.      Terapi Gestalt bisa menjadi berbahaya karena terapis memiliki kekuatan untuk memanipulasi klien melalui teknik-teknik yang digunakannya.
6.      Para klien sering bereaksi negatif terhadap sejumlah teknik Gestalt karena merasa dirinya dianggap tolol.









BAB II
PENUTUP
2.1  Kesimpulan
Frederick Perls (1893-1970) adalah pendiri pendekatan konseling Gestalt. Frederick dilahirkan di Berlin dan berasal dari keluarga Yahudi. Proses perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dia adalah isteri Frederick perls yang secara signifikan turut mengembangkan teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls secara aktif melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt, hingga pada tahun 1930 akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Pendekatan gestalt adalah terapi yang termasuk dalam terapi Phenomenologica-existential yang diprakarsai oleh Frederick (Fritz) and Laura Perls pada tahun 1940-an. Sejarah pendekatan gestalt di awali sejak tahun 1926 ketika Perls mendapatkan gelar Medical Doctor (M.D.) pergi ke Frankfurt-am-main dan menjadi asisten Kurt Goldstein di  The institute for brain damaged soldiers. Pendekatan gestalt dimulai ketika perls menulis ego, hunger and aggretion pada tahun 1941-1942.
Segala sesuatu tidak ada kecuali yang ada pada masa sekarang (the now), karena masa lalu telah berlalu dan masa depan belum sampai, hanya masa sekarang yang penting. Ini karena dalam pendekatan gestalt mengekspresikan pengalaman pada masa kini.
Individu memiliki 5 lapisan neurosisi dalam dirinya bila individu ingin mencapai kematangan psikologis, mereka harus mengelupas lima lapisan neurosis ini diantaranya ialah: Lapisan phony (the phony layer, Lapisan phobic (thebphobic layer), Lapisan impasse (the impasse layer), Lapisan implosif (the implosive layer), Lapisan eksplosif (the eksplosif layer).
Pandangan pendekatan gestalt terhadap manusia dipengaruhi oleh filsafat ekstensial dan fenomenologi. Asumsi dasar pendekatan gestalt tentang manusia adalah bahwa individu dapat mengatasi sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama bila mereka menggunakan kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia sekitarnya.
Individu bermasalah karena terjadi pertentangan antara kekuatan “top dog” dan antara keberadaan “under dog”. Top dog adalah kekutan yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah keadaan desensif, membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi. Individu bermasalah karena ketidakmampuan seseorang dalam mengintegrasikan pikiran, perasaan dan tingkah lakunya karena disebabkan mengalami kesenjangan antara masa sekarang dan masa yang akan datang.
Tujuan konseling gestalt adalah membantu klien untuk memperoleh kesadaran atas pengalaman dari saat ke saatnya. Menantang klien agar menerima tanggung jawab atas pengambilan dukungan internal alih-alih dukungan eksternal. Tahap awal yang di lakukan konselor dalam konseling gestalt adalah mempertimbangkan kesesuaian konseling gestalt dengan konseli. Terdapat beberapa pertanyaan yang dapat digunakan konselor untuk melakukan refleksi.
Terdapat beberapa teknik bahasa, permainan, dan fantasi yang dapat digunakan untuk mempertahankan orientasi pada masa sekarang (present-time orientation) dalam wawancara konseling, antara lain: Kursi kosong (Empty Chair), Topdog versus underdog, Membuat serial (making the rounds), “saya bertanggung jawab atas...” (“i take responsibility for...”), Bermain proyeksi (playing projection), Pembalikan (reversal technique), Latihan gladiresik (the rehearsal experiment), Latihan melebih-lebihkan (the exaggeration eksperiment), Tetap pada perasaan (staying with the feeling),Bahasa ‘saya’ ( “I” languange)



2.2  Saran
Berdasarkan makalah yang telah kami tuliskan dan sampaikan, maka diharapkan bagi pembaca semoga isi makalah ini mudah dipahami, dapat berguna, dan menambahkan wawasan yang lebih baik lagi dari makalah yang kami tuliskan. Jika ada kekurangan atau kesalahan dalam penulisan makalah ini mohon dimaklumi.

DAFTAR PUSTAKA


Corey, Geral. 2010. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.

Gibson, Robert L dan Marianne H. Mitchell. 2011. Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar.

Komalasari, Gentina, Eka Wahyuni & Karsih. 2011. Teori dan Teknik Konseling.Jakarta: PT Indeks.

Sunardi, Permanarian dan Musjafak Assjari. 2008. Teori-Teori Konseling: Adaptasi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. PLB FIP UPI.

Suryabrata, Sumadi. 2015. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

http://13nixa3asti2.blogspot.co.id/2012/11/gestalt-counseling.html.





[1] http://13nixa3asti2.blogspot.co.id/2012/11/gestalt-counseling.html
[2] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm. 285
[3] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm. 285-288.
[4] Ibid. Hlm:294
[5] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm. 294
[6] Ibid. Hlm:295
[7] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm. 296
[8] Ibid:296-300
[9] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm. 300-309
[10] Geral Corey. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. (Bandung: PT Refika Aditama. 2010. Cet -5). Hlm: 121
[11] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm. 289
[12] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm. 290-291
[13] Ibid: hlm:293
[14] Robert L. Gibson & Marianne H. Mitchell. Bimbingan dan Konseling. (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar. 2011. Cet-1). Hlm:227
[15] Robert L. Gibson & Marianne H. Mitchell. Bimbingan dan Konseling. (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar. 2011. Cet-1). Hlm:228
[16] Sumadi Suryabrata. Psikologi Kepribadian. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2015). Hlm:227
[17] Ibid: Hlm:242
[18] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm. 293-294
[19] Geral Corey. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. (Bandung: PT Refika Aditama. 2010. Cet -5). Hlm: 123-124.
[20] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm. 310
[21]Permanarian Sunardi & Musjafak Assjari. Teori-Teori Konseling: Adaptasi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. (PLB FIP UPI. 2008). Hlm: 31
[22] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm:311
[23] Opcit. Hlm:32
[24] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm. 312-317
[25] Gantina Komalasari, Eka Wahyuni & Karsih. Teori dan Teknik Konseling.(Jakarta: PT Indeks, 2011). Hlm. 318-324
[26] Geral Corey. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. (Bandung: PT Refika Aditama. 2010. Cet -5). Hlm: 150
[27] Geral Corey. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. (Bandung: PT Refika Aditama. 2010. Cet -5). Hlm: 151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar